REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pernyataan Presiden RI Joko Widodo mengenai ide pembuatan versi baru film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI menuai tanggapan berbagai pihak. Salah satunya datang dari aktor senior Indonesia Slamet Rahardjo.
“Dalam hal ini coba berpikir positif, jangan negatif, jangan semua dicurigai. Kita kan baca Bismillah, baca Ar Rahman dan Ar Rahim. Kita kan umat beliau (Rasulullah SAW), masa permalukan beliau,” kata Slamet.
Menurut pria 68 tahun itu, sah-sah saja jika film ditayangkan kembali atau diproduksi ulang dalam kemasan berbeda. Selama pihak yang mencetuskan gagasan punya kuasa untuk membuat seperti ketersediaan dana, sumber daya, dan kesempatan, maka tidak ada yang perlu dipermasalahkan.
Meski demikian, ia tidak tertarik untuk berkontribusi apabila film dokudrama 1984 arahan sutradara Arifin C Noer tersebut betul-betul dibuat lagi. Secara halus, ia menyebut tema maupun konten film bertentangan dengan bahasa sederhana yang ia anut dalam karya-karyanya.
Slamet berpendapat, siapapun tidak perlu bersikap radikal menanggapi pro-kontra penayangan dan pembuatan ulang film G 30 S PKI. Pria yang menyutradarai film Kembang Kertas pada 1985 itu mengatakan, bahasa budaya mendahulukan musyawarah dan pertukaran pikiran, bukan tukar tinju.
Setiap orang, termasuk dirinya, bisa saja memiliki pengetahuan, pemahaman, dan keyakinan sendiri mengenai film tersebut. Bahaya ataupun manfaat yang mungkin ada, kata Slamet, tidak ditentukan oleh tontonan tetapi siapa yang menonton.
“Tiap orang punya urgensi berbeda-beda. Urgensi saya adalah bagaimana bangsa saya bisa damai, jangan dipisah-pisahkan, bangsa saya harus saling mencintai,” ucap seniman yang tergabung dalam Teater Populer bersama mendiang Teguh Karya itu.