Jakarta - Kepanikan yang melanda warga Lombok dan sekitarnya lantaran terjadinya gempa dapat diperparah dengan beredarnya hoax. Di platform seperti Twitter dan WhatsApp, tampak sejumlah informasi keliru yang lalu lalang terkait dengan gempa susulan dengan kekuatan lebih besar di kawasan Bali.
Lantas, mengapa hoax masih beredar begitu leluasa di sejumlah jejaring sosial? Padahal, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sudah membuat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang salah satu isinya mengatur penyebaran informasi bohong.
Berdasarkan isi pasal 28 ayat 1 dalam UU ITE, penyebar informasi bohong alias hoax bisa terkena sanksi berat. Setiap orang yang dengan sengaja dan atau tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan, ancamannya bisa terkena pidana paling lama enam tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar.
“Motifnya itu bisa macam-macam. Pertama, ada yang niatnya untuk memperingatkan kerabat-kerabatnya agar tidak ke sana. Bisa jadi, ia panik terhadap kejadian sebuah bencana dan berujung pada tindakan menyebar hoax,” ujarnya kepada detikINET, Senin (6/8/2018).
Menurutnya, kepanikan seperti saat berada di tengah-tengah kondisi bencana tersebut bisa membuat si pelaku tidak mengindahkan peraturan di dalam UU ITE. Hal ini pun membuat hoax tetap bisa beredar.
“Kedua, ada yang sengaja dengan tujuan komersil atau politik, ini yang harus kita cegah. Mereka sadar dengan adanya UU ITE dan mereka akan cari cara agar tidak tertangkap,” tutur Nukman.
Ia menambahkan, orang-orang seperti ini yang harus ditindak tegas. Dirinya pun tak segan-segan mengajak secara bersama-sama untuk berusaha menangkap oknum tersebut. Melaporkannya ke pihak berwajib jadi salah satu caranya.
BMKG Minta Warga NTB Jangan Terpancing Hoax Gempa, Simak Vdeonya:
[Gambas:Video 20detik]
(mon/rou)