Polemik Status Tanah Rempang Batam yang Bakal Disulap PSN Eco-City



Jakarta, CNN Indonesia

Polemik di tanah Rempang, Batam, Kepulauan Riau masih terus bergulir. Warga yang disebut-sebut telah tinggal sebelum Indonesia dinyatakan merdeka terancam digusur demi proyek strategis nasional (PSN) Rempang Eco-City.

Proyek itu dikerjakan oleh PT Makmur Elok Graha (MEG) dan ditargetkan bisa menarik investasi besar dengan menggunakan lahan seluas seluas 7.572 hektare atau sekitar 45,89 persen dari total luas Pulau Rempang 16.500 hektare.

Warga yang mendiami di Pulau Rempang, Pulau Galang dan Pulau Galang Baru tersebut harus direlokasi ke lahan yang sudah disiapkan. Jumlah warga tersebut diperkirakan antara 7.000 sampai 10.000 jiwa.

Warga dari 16 kampung Melayu di Rempang itu masih menolak penggusuran itu hingga saat ini. Pada 7 September lalu penolakan itu berujung bentrok dengan kepolisian. Sebanyak 43 warga ditangkap dianggap provokator.

Penangkapan dan tindakan represif itu mendapat banyak kecaman seperti dari Komnas HAM dan PP Muhammadiyah.

Status tanah di Rempang

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD menyatakan peristiwa di kawasan Pulau Rempang bukan penggusuran. Ia mengatakan yang terjadi adalah pengosongan lahan oleh yang berhak.

“Supaya dipahami kasus itu bukan kasus penggusuran, tetapi memang pengosongan karena memang secara hak itu akan digunakan oleh pemegang haknya,” ujar Mahfud saat ditemui di Hotel Royal Kuningan, Jakarta, Jumat (8/9).

Mahfud menyebut negara telah memberikan hak atas Pulau Rempang kepada sebuah entitas perusahaan pada 2001-2002 berupa Hak Guna Usaha (HGU) . Namun, tanah itu belum digarap investor dan tak pernah dikunjungi.

Selanjutnya, pada 2004, hak atas tanah itu diberikan kepada orang lain untuk ditempati. Padahal, menurut Mahfud, Surat Keterangan (SK) terkait hak itu telah dikeluarkan secara sah pada 2001-2002. Ia pun menyinggung kekeliruan yang dilakukan KLHK.

Baca Juga Kejagung Pastikan Usut Dugaan Aliran Dana Korupsi BTS Kominfo ke DPR hingga BPK

“Nah, ketika kemarin pada tahun 2022 investor akan masuk, yang pemegang hak itu datang ke sana, ternyata tanahnya sudah ditempati. Maka kemudian, diurut-urut, ternyata ada kekeliruan dari pemerintah setempat maupun pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian LHK. Nah, lalu diluruskan sesuai dengan aturan bahwa itu masih menjadi hak karena investor akan masuk,” kata Mahfud.

“Nah, proses pengosongan tanah inilah yang sekarang menjadi sumber keributan, bukan hak atas tanahnya, bukan hak guna usahanya,” lanjutnya.

Pernyataan Mahfud itu dibantah oleh Eks Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik. Dia menilai tak hanya Mahfud, melainkan Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia gagal mengonstruksikan persoalan dalam kasus Rempang ini.

“Mereka gagal mengkonstruksi masalah ini seolah izin investasi kepada perusahaan bisa mengeliminasi hak ulayat dan hak hidup warga. Atas dasar apa warga diusir dari tanahnya?” kata Taufan.

Dia menjelaskan sebagian warga sudah berada di Rempang sejak 1834. Taufan menyebut Rempang merupakan tanah leluhur mereka.

Taufan turut menanggapi penjelasan Mahfud mengenai negara telah memberikan hak atas Pulau Rempang kepada sebuah entitas perusahaan berupa hak guna usaha pada 2001-2002.

Mahfud menyebut tanah itu belum digarap dan tak pernah dikunjungi. Pada 2004 dan seterusnya menyusul dengan beberapa keputusan, tanah itu diberikan hak baru kepada orang lain untuk ditempati. Kendati demikian, pada 2022, pemegang hak kembali datang ke Rempang lantaran ada investor yang akan masuk.

“Tahun 2002 diberikan izin ke pengusaha untuk mengelola Pulau Rempang. Bagaimana bisa itu terjadi tanah ulayat orang Melayu?” tanya Taufan

Taufan menilai Mahfud gagal paham apabila menganggap pengusaha lah yang berhak atas pulau tersebut. Menurutnya, pemerintah mestinya mengambil langkah dengan menghentikan upaya relokasi warga.

Baca Juga 5 Respons PDIP, Cak Imin, hingga Mahfud Md Usai KPK Geledah Rumah Dinas Mentan Syahrul Yasin Limpo

Ia menyarankan agar proyek Rempang dihentikan terlebih dahulu. Taufan menilai perkara ini mestinya diselesaikan secara musyawarah dengan warga untuk mencari solusi bersama.

“Kalau menurut saya, stop relokasi, tunda semua kegiatan. Presiden turunkan tim khusus untuk berdialog dengan warga. Cari solusi,” kata dia.

Anggota DPRD Kepulauan Riau (Kepri) Taba Iskandar pun tak setuju terkait relokasi itu. Dia sepakat dengan Taufan bahwa warga telah tinggal sebelum Indonesia merdeka pada 1945. Taba menyebut warga yang terancam relokasi itu juga merupakan penduduk asli Rempang.

“Jauh sebelum diberikan ke BP Batam mereka udah tinggal di situ, beranak pinak, leluhurnya di sana,” kata dia kepada CNNINdonesia.com, Rabu (13/9).

Dia juga menyatakan bukti kepemilikan warga terhadap sertifikat tidak seharusnya menjadi legitimasi relokasi. Pasalnya, ada bukti-bukti lain yang menunjukkan bahwa warga sudah tinggal sejak lama dan memiliki tanah tersebut.

“Menteri ATR/BPN bilang enggak punya sertifikat. Padahal mereka nenek moyang di sana ratusan tahun. Buktinya bisa dilihat dari catatan kependudukan. Sebelum masuk ke Batam, masyarakat Rempang itu dalam wilayah administrasi kepulauan riau. sudah eksis mereka,” jelas dia.

“Bahkan jauh sebelum itu, masa kerajaan Riau Lingga, makamnya ada di Pulau Lintang,” imbuhnya.

Menurutnya, meski saat ini lahan warga itu diklaim sebagai tanah negara. Seharusnya, kata dia, pemerintah lebih berpihak dan mendahulukan pada warga asli.

“Masa orang tinggal di rumah sendiri harus diusir. Dia lebih dulu di sana dibanding otorita Batam,” ujarnya.

Sementara itu Menteri ATR/BPN Hadi Tjahjanto menegaskan bahwa lahan tinggal sebagai pemicu kericuhan di Pulau Rempang tidak memiliki Hak Guna Usaha (HGU).

“Jadi, masyarakat yang menempati Pulau Rempang itu tidak ada sertifikat karena memang dulu, semuanya ada di bawah otorita Batam,” ujar Hadi dalam Rapat Kerja bersama Komisi II DPR RI di Jakarta, Selasa.

Baca Juga Luhut Buka-bukaan Soal Investasi Xinyi di Rempang: Jangan Lari ke Tempat Lain

Hadi menjelaskan, lahan yang akan dijadikan lokasi Rempang Eco City seluas 17 ribu hektare ini merupakan kawasan hutan dan dari jumlah itu, sebanyak 600 hektare merupakan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) dari Badan Pengusahaan (BP) Batam.

Hadi mengatakan, sebelum terjadi konflik di Pulau Rempang, pemerintah telah melakukan pendekatan kepada masyarakat setempat.

Menurutnya, hampir 50 persen dari warganya menerima usulan yang telah disampaikan.

Presiden Joko Widodo sendiri mengakui bentrok di Batam karena PSN kawasan Pulau Rempang merupakan bentuk komunikasi yang kurang baik. Dia ingin ada diskusi sebelum pengalihan lahan. Jokowi memerintahkan anak buahnya untuk mendekati warga dan memberi solusi.

Dia berkata sebenarnya sudah ada kesepakatan untuk ganti rugi. Warga akan diberikan ganti laha. Seluas 500 meter dengan bangunan tipe 45.

(yla/DAL)


[Gambas:Video CNN]

fbq('init', '1047303935301449'); fbq('track', "PageView");





Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *